A. Pengertian Inseminasi Buatan
Inseminasi buatan merupakan terjemahan dari istilah Inggris artficial insemination. Artifical artinya buatan atau tiruan, sedangkan insemination artinya pemasukkan atau penyampaian. Dalam bahasa Arab disebut al-talqih al-shina’iy. Drh.Djamalin Djanah mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan inseminasi buatan ialah “Pekerjaan memasukan mani (sperma atau semen) ke dalam rahim (kandungan) dengan menggunakan alat khusus dengan maksud terjadi pembuahan”. Menurut Kamus Besar Biologi yang dimaksud Inseminasi buatan adalah pembuahan atau penghamilan yang dilakukan dengan memasukkan (menyuntikkan) sperma (biasanya dari pejantan pilihan) ke dalam kelamin betina yang sedang birahi. Sementara Dr. H. Ali Akbar memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan inseminasi buatan adalah memasukkan sperma ke dalam alat kelamin wanita tanpa persetubuhan untuk membuahi telur atau ovum wanita.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas secara umum dapat di simpulkan bahwa inseminasi buatan adalah suatu cara memperoleh kehamilan (pembuahan) tanpa melalui persetubuhan (senggama).
B. Hukum Inseminasi Buatan Pada Manusia Dalam Islam
Inseminasi buatan berdasarkan dari asal sperma yang dipakai dapat dibagi dua yaitu :
1. Inseminasi buatan dengan sperma suami sendiri (ikatan pernikahan yang sah) atau AIH (Artifical Insemination Husband)
Untuk inseminasi buatan pada manusia dengan sperma suami sendiri, baik dengan cara mengambil sperma suami kemudian disuntikkan ke dalam vagina atau uterus isteri, maupun dengan cara pembuahan dilakukan diluar rahim (bayi tabung), maka hal ini dibolehkan (diizinkan) asal keadaan suami istri tersebut benar-benar membutuhkan untuk nemperoleh keturunan. Hal ini disepakati oleh para ulama. Diantaranya, menurut Mahmud Syaltut bahwa bila penghamilan itu menggunakan air mani si suami untuk istrinya maka yang demikian itu masih dibenarkan oleh hukum syari’at.
Jadi, pada prinsipnya inseminasi buatan itu dibolehkan bila keadaannya benar-benar memaksa pasangan itu untuk melakukannya dan bila tidak dilakukan akan mengancam keutuhan rumah tangganya. Sesuai dengan kaidah ushul fiqh :
الضرورة تبيح المحظورات
keadaan darurat dapat menghalalkan hal-hal yang dilarang
2. Inseminasi buatan dengan bukan sperma suami sendiri atau lazim disebut donor atau AID (Artifical Insemination Donor)
Adapun inseminasi buatan dengan donor, para ulama sepakat mengharamkannya karena termasuk perbuatan zina. Seperti pendapat Yusuf el-Qardlawi bahwa islam juga mengharamkan apa yang disebut pencangkokan sperma, apabila ternyata pencangkokan itu bukan dari sperma suami yang sah. Demikianlah pendapat ulama tentang inseminasi buatan dengan sperma donor yang sangat ditentang karena termasuk zina, tidak sesuai dengan etis dan moral. Selain itu juga berpengaruh negatif dan buruk terhadap kejiwaan orang-orang yang bersangkutan.
Mengenai hukum apabila sperma dan ovom (dari pasangan suami istri yang sah) jika ditanamkan pada rahim orang lain, terjadi perbedaan pendapat. Ali Akbar memberikan alasan kebolehan khusus ini karena yang ditanamkan pada rahim orang lain itu adalah sperma dan ovum yang sudah tercampur, sehingga hanya menitipkan untuk memperoleh kehidupan, yaitu makanan atau nutrisi untuk membesarkannya menjadi bayi yang sempurna. Menurutnya hal ini tidak dapat dikategorikan zina. Adapun yang mengharamkan penitipan embrio ini barangkali memahami secara harfiah firman Allah SWT dalam QS. Al-Ahqaaf (46):15
Artinya :
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri".
C. Proses Inseminasi Buatan (Bayi Tabung)
Menurut sejumlah ahli, inseminasi buatan atau bayi tabung secara garis besar dibagi menjadi dua:
1. Pembuahan di dalam rahim. Bagian pertama ini dilakukan dengan dua cara :
a. Sel sperma laki-laki diambil, kemudian disuntikan pada tempat yang sesuai dalam rahim sang istri sehingga sel sperma tersebut akan bertemu dengan sel telur istri kemudian terjadi pembuahan yang akan menyebabkan kehamilan. Cara seperti ini dibolehkan oleh Syari'ah, karena tidak terjadi pencampuran nasab dan ini seperti kehamilan dari hubungan seks antara suami dan istri.
b. Sperma seorang laki-laki diambil, kemudian disuntikan pada rahim istri orang lain atau wanita lain, sehingga terjadi pembuahan dan kehamilan. Cara seperti ini hukum haram, karena akan terjadi percampuran nasab. Kasus ini serupa dengan adanya seorang laki-laki yang berzina dengan wanita lain yang menyebabkan wanita tersebut hamil.
2. Pembuahan di luar rahim. Bagian kedua ini dilakukan dengan lima cara :
a. Sel sperma suami dan sel telur istrinya diambil dan dikumpulkan dalam sebuah tabung agar terjadi pembuahan. Setelah dirasa cukup, maka hasil pembuahan tadi dipindahkan ke dalam rahim istrinya yang memiliki sel telur tersebut Hasil pembuahan tadi akan berkembang di dalam rahim istri tersebut, sebagaimana orang yang hamil kemudian melahirkan ana yang dikandungnya. Bayi tabung dengan proses seperti di atas hukumnya boleh, karena tidak ada percampuran nasab. ( Dar al Ifta' al Misriyah, Fatawa Islamiyah : 9/ 3213-3228 )
b. Sel sperma seorang laki-laki dicampur dengan sel telur seorang wanita yang bukan istrinya ke dalam satu tabung dengan tujuan terjadinya pembuahan. Setelah itu, hasil pembuahan tadi dimasukkan ke dalam rahim istri laki-laki tadi. Bayi tabung dengan cara seperti ini jelas diharamkan dalam Islam, karena akan menyebabkan tercampurnya nasab.
c. Sel sperma seorang laki-laki dicampur dengan sel telur seorang wanita yang bukan istrinya ke dalam satu tabung dengan tujuan terjadinya pembuahan. Setelah itu, hasil pembuahan tadi dimasukkan ke dalam rahim wanita yang sudah berkeluarga. Ini biasanya dilakukan oleh pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak, tetapi rahimnya masih bia berfungsi. Bayi tabung dengan proses seperti ini jelas diharamkan dalam Islam.
d. Sel sperma suami dan sel telur istrinya diambil dan dikumpulkan dalam sebuah tabung agar terjadi pembuahan. Setelah dirasa cukup, maka hasil pembuahan tadi dipindahkan ke dalam rahim seorang wanita lain. Ini jelas hukumnya haram. Sebagian orang menamakannya " Menyewa Rahim ".
e. Sperma suami dan sel telur istrinya yang pertama diambil dan dikumpulkan dalam sebuah tabung agar terjadi pembuahan. Setelah dirasa cukup, maka hasil pembuahan tadi dipindahkan ke dalam rahim istri kedua dari laki-laki pemilik sperma tersebut. Walaupun istrinya pertama yang mempunyai sel telur telah rela dengan hal tersebut, tetap saja bayi tabung dengan proses semacam ini haram, ( Majma' al Fiqh Al Islami, Munadhomah al Mu'tamar al Islami, Mu'tamar ke-3 di Amman tanggal 8-13 Shofar 1407 – Majalah Majma' al Fiqh al Islami, edisi : 3 : 1/515-516 ) hal itu dikarenakan tiga hal :
i. Karena bisa saja istri kedua yang dititipi sel telur yang sudah dibuahi tersebut hamil dari hasil hubungan seks dengan suaminya, sehingga bisa dimungkinkan bayi yang ada di dalam kandungannya kembar, dan ketika keduanya lahir tidak bisa dibedakan antara keduanya, tentunya ini akan menyebabkan percampuran nasab yang dilarang dalam Islam.
ii. Seandainya tidak terjadi bayi kembar, tetapi bisa saja sel telur dari istri pertama mati di dalam rahim istri yang kedua, dan pada saat yang sama istri kedua tersebut hamil dari hubungan seks dengan suaminya, sehingga ketika lahir, bayi tersebut tidak diketahui apakah dari istri yang pertama atau istri kedua.
iii. Anggap saja kita mengetahui bahwa sel telur dari istri pertama yang sudah dibuahi tadi menjadi bayi dan lahir dari rahim istri kedua, maka masih saja hal tersebut meninggalkan problem, yaitu siapakah sebenarnya ibu dari bayi tersebut, yang mempunyai sel telur yang sudah dibuahi ataukah yang melahirkannya ? Tentunya pertanyaan ini membutuhkan jawaban. Dalam hal ini Allah swt berfirman :
Artinya :
Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. ( Qs Al Mujadilah : 2 )
Kalau kita mengikuti bunyi ayat di atas secara lahir, maka kita akan mengatakan bahwa ibu dari anak yang lahir tersebut adalah istri kedua dari laki-laki tersebut, walaupun pada hakekatnya sel telurnya berasal dari istrinya yang pertama.
Dari ketiga alasan di atas, bisa disimpulkan bahwa proses pembuatan bayi tabung yang sel telurnya berasal dari istri pertama dan dikembangkan dalam rahim istri kedua, hukumnya tetap haram karena akan menyebakan percampuran nasab sebagaimana yang dijelaskan di atas.
D. Status Anak Dari Hasil Inseminasi Buatan
Apabila sperma itu berasal (bersumber) dari sperma dan ovum pasangan suami-istri yang sah, maka anak itu adalah anak pasangan suami-istri tersebut. Sedangkan apabila sperma itu bersal dari orang lain (donor), maka dilarang oleh agama islam dan status anak hasil inseminasi itu, sama dengan anak zina. Status anak itu dipandang sebagai anak zina, bukan karena cara yang dilakukan sebagai suami istri, tetapi dilihat dari segi kekaburan keturunan anak itu yang sama sekali tidak dapat diketahui siapa bapaknya (donor) karena donor itu mesti dirahasiakan.
Kalau kita perhatikan maka nasab anak hasil inseminasi model ini (dari sperma donor) adalah lebih kabur daripada anak zina. Sebab, anak zina walaupun bagaimana masih dapat diketahui bapaknya, paling tidak oleh si ibu anak itu. Berbeda dengan anak hasil inseminasi model ini, tidak dapat diketahui laki-laki (donor) itu memang harus tetap dirahasiakan, dan hanya dokter saja yang mengetahuinya. Jadi, mengenai status anak itu ditinjau dari hukum islam, adalah sama dengan status anak zina dalam masalah waris mewarisi dan perwalian dalam perkawinan bagi anak perempuan.
Baiklah, langsung kepembahasan bayi tabung/inseminasi buatan apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya kedalam rahim wanita lain termasuk istrinya sendiri yang lain(bagi suami yang berpoligami),maka islam membenarkannya, baik dengan cara mengambil sperma suami, kemudian disuntikan kedalam vagina atau uterus istri, maupun dengan cara pembuahan dilakukan diluar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam didalam rahim istri, asal keadaan suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami, suami istri tidak berhasil memperoleh anak. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqihSebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan atau ovum, maka hukumnya haram, sama saja dengan zina (prostitusi) meskipun dengan secara tidak langsung. Dan sebagai akibat hukumnya anak hasil inseminasi tersebut tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya.Dalil-dalil Syar’I yang dapat dijadikan sebagai landasan hukumnya adalah: Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 70
Artinya :
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan , Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Surat At-tin ayat 4
artinya :
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Kedua ayat tersebut menunjukan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia bias menghormati martabatnya sendiri dan juga menghormati martabat sesame manusia. Dan inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya merendahkan harkat martabat manusia (human dignity) sejajar dengan hewan yang diinseminasi.
Hadits Nabi :
“Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (vagina istri orang lain). (Hadits Riwayat Abu Daud, Al-Tirmidzi, dan hadits ini dipandang shahih oleh Ibnu Hibban)”
E. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Inseminasi buatan dengan sel sperma dan ovum dari suami istri sendiri tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain (ibu titipan diperbolehkan Islam, jika keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukannya (ada hajat, jadi bukan untuk kelinci percobaan atau main-main). Dan status anak hasil inseminasi macam ini sah menurut Islam.
2. Inseminasi buatan dengan sperma atau ovum donor diharamkan (dilarang keras) Islam. Hukumnya sama dengan zina dan anak yang lahir dari hasil inseminasi macam ini (bayi tabung) ini sama dengan anak yang lahir diluar perkawinan yang sah.
3. Inseminasi buatan dari Pasangamn suami istri dengan titipan rahim istri yng lain ( suami mempunyai istri yang lebih dari satu ) maka hukumnya tetap haram, sebab akan menimbulkan implikasi hukum yang rumit misalkan masalah warisan.
4. Inseminasi buatan dari sperma suami yang syah tetapi telah meninggal sperma dibekukan misalnya, maka hukumnya tetaplah haram.
Adapun Inseminasi pada herwan , maka selama hewan tersebut adalah hewan yang hal dalam agama Islam , maka hukumnya adalah boleh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar